Sekali lagi ternyata korupsi memang tidak bisa dilepaskan dari rangkaian “prestasi” yang telah ditoreskan bangsa Indonesia. Setelah beberapa tahun dalam beberapa kali survey yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei dunia maupun oleh PBB Indonesia termasuk negara dengan tingkat korupsi paling tinggi di dunia, kali ini prestasi lain berkaitan dengan korupsi kembali diperoleh Indonesia. Dari daftar koruptor terbesar di dunia yang baru saja di rilis PBB, ternyata yang berada di peringkat pertama adalah perwakilan koruptor dari Indonesia.

Mantan presiden Indonesia yang berkuasa di negeri ini selama lebih dari 30 tahun ternyata menjadi koruptor yang paling hebat di dunia. Selain dari segi jumlah hasil korupsi yang telah diraih, kehebatan Suharto juga dapat dilihat bahwa dia masih bisa bebas sampai saat ini. Ketika rekan-rekan sejawatnya sesama koruptor kakap banyak yang telah meninggal atau diajukan ke pengadilan dan akhirnya telah divonis bersalah, Suharto masih bisa bersantai-santai menikmati hasil korupsinya karena kasusnya tidak lagi diselidiki.

Jangankan diselidiki, para penegak hukum di negeri ini masih sibuk berdebat apakah Suharto merupakan koruptor yang bersalah atau tidak. Bahkan beberapa saat kemarin kembali lagi kita dikejutkan dengan kabar bahwa Suharto memenangkan gugatan kepada majalah Time atas tuduhan pencemaran nama baik. Setelah diperhatikan ternyata isi berita majalah Time, yang menjadi dasar gugatan Suharto, secara garis besar tidak jauh berbeda dengan temuan dari PBB. Jadi apakah kira-kira ada kemungkinan bahwa Suharto juga akan melakukan gugatan yang sama terhadap PBB? Kemungkinan yang cukup menarik untuk kita tunggu.

Yang menjadi kabar gembira yaitu adanya niatan dari Kejaksaan Agung untuk kembali membuka kasus tersebut karena adanya temuan dari PBB. Suharto memang telah dinobatkan sebagai bapak pembangunan Indonesia. Tetapi hal itu rasanya tidak dapat dibuat sebagai alasan untuk menghalangi penyelidikan terhadap kasus korupsi yang dilakukannya. Memang diperlukan kemauan politik yang sangat kuat dari para pemimpin di Indonesia untuk membuka dan menyelidiki kembali kasus tersebut. PBB sendiri telah menyatakan dukungannya akan penyelidikan terhadap harta para koruptor karena PBB juga setuju bahwa korupsi bukanlah kejahatan biasa melainkan merupakan kejahatan kemanusiaan yang mempunyai efek sangat besar terhadap masyarakat suatu bangsa.

Kabar lain yang berhubungan dengan kasus korupsi adalah mengenai kembalinya Nurdin Halid ke tempatnya sebelumnya. Orang yang masih menjadi ketua PSSI tersebut kembali ke penjara berkaitan dengan kasus korupsi selama dia masih menjadi kepala Inkud. Nurdin kembali ke dalam penjara mungkin bukan berita baru lagi. Yang menjadi masalah adalah Nurdin Halid masih menjadi ketua PSSI sampai saat ini. PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) adalah induk olahraga yang dapat dikatakan memiliki penggemar paling besar di Indonesia. Apa yang diharapkan dari kemajuan prestasi olahraga di negeri ini untuk cabang sepakbola khususnya apabila pemimpin mereka ternyata adalah seorang narapidana yang tealah berada di penjara. Apalagi kasus yang menyebabkan Nurdin masuk penjara bukanlah kasus sembarangan, yaitu kasus korupsi yang seperti telah disebutkan sebelumnya korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan (crime of humanity).

Ketika hampir semua pihak, dalam hal ini rakyat Indonesia bahkan sampai organisasi sepakbola internasional (FIFA), menyerukan agar Nurdin mundur dari jabatannya sebagai ketua PSSI, Nurdin ternyata masih menolak untuk mengundurkan diri. Para pengurus PSSI yang sepertinya kompeten dan berkomitmen mengurusi kemajuan sepakbola Indonesia ternyata juga setali tiga uang. Para pengurus PSSI ternyata juga sama saja dengan Nurdin Halid. Mereka masih melindungi Nurdin dengan tetap mempertahankan posisi Nurdin sebagai ketua PSSI. Entah apa yang ada di pikiran Nurdin Halid maupun para petinggi PSSI lainnya, yang jelas dapat kita lihat disini bahwa kesadaran melawan korupsi dan menganggap korupsi suatu kejahatan ternyata belum terpatri di dalam diri para petinggi PSSI. Terlepas dari hasil yang didapat dari tim nasional Indonesia dalam bidang sepakbola, kinerja PSSI di bawah pengurus yang seperti itu tentunya tidak akan maksimal.

Rc > Pty x Prob

Dari dua contoh kasus tersebut penulis beranggapan bahwa teori mengenai korupsi yang telah dibahas sebelumnya sangat berkaitan, dalam hal ini misalnya teori yang disampaikan Robert Klitgaard dan teman-temannya dalam buku Corrupt Cities : A Practical Guide to Cure and Prevention.

Dalam teori tersebut dikatakan pula bahwa sebenarnya korupsi merupakan kejahatan perhitungan bukan merupakan kejahatan karena nafsu atau hasrat perhitungan disini maksudnya bahwa korupsi terjadi ketika risiko yang ada karena melakukan korupsi tersebut kecil/sedikit. Risiko kecil atau sedikit tersebut terutama dilihat dari penalti atau hukuman yang diterima kalau melakukan korupsi yang dirasa jauh lebih kecil dibanding “manfaat” yang mereka peroleh dari melakukan korupsi.

Dalam kasus yang dilakukan oleh Suharto sampai saat ini malah dapat dikatakan bahwa tidak ada penalti atau hukuman yang diberikan kepada Suharto atas kejahatan yang dia lakukan. Bahwa sekedar hukuman sosial dari masyarakat pun tidak sepenuhnya ada. Dalam hal ini dapat dilihat dari bahwa tidak semua rakyat Indonesia menganggap Suharto sebagai koruptor yang menyengsarakan rakyat. Masih ada saja yang menganggap Suharto sebagai pahlawan bangsa yang tidak boleh diganggu lagi.

Dalam kasus yang kedua sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan teori yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini dapat kita gunakan teori yang disampaikan oleh Vroom.

Dari teori tersebut dikatakan bahwa performance atau kinerja ditentukan dari fungsi ability dan motivation. Sedangkan motivation sendiri ditentukan oleh ekspektasi dan nilai (value) yang dianut. Dalam kasus Nurdin Halid dapat saya tangkap bahwa nilai yang dianggap oleh Nurdin Halid dan juga para petinggi PSSI mungkin berbeda dengan nilai yang selama ini telah ada di masyarakat. Dalam hal ini mungkin korupsi bukanlah suatu hal yang jahat dan memalukan. Sehingga ketika seseorang telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi, dia tetap saja bisa menduduki jabatan tertentu yang seharusnya sudah tidak boleh lagi dia pegang.

Berdasarkan teori yang ada dan melihat kondisi yang ada mengenai keadaan korupsi di Indonesia sebenarnya ada cara yang dapat dikatakan paling mudah untuk memberantas korupsi. Hanya saja cara tersebut tidak akan lagi menjadi mudah ketika tidak ada kemauan dari pemerintah untuk melaksanakannya. Cara yang paling mudah adalah dengan memperkuat pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan adanya tindak pidana korupsi. Penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi secara tegas mutlak harus diperlukan.

Hanya saja cara ini mungkin tidak akan berjalan dengan efektif ketika para penegak hukum sebagai pengayom berjalannya pemberantasan korupsi masih juga tidak bisa melepaskan diri dari jeratan korupsi. Perbaikan kualitas dari para penegak hukum mutlak sangat diperlukan dalam hal ini. Dalam hal perbaikan kualitas penegak hukum pemerintah Indonesia mungkin telah melakukan satu langkah maju. Walaupun langkah tersebut masih juga diragukan keberhasilannya, namun paling tidak langkah tersebut semoga dapat meningkatkan kualitas para penegak hukum di Indonesia. Langkah yang dimaksud adalah dengan adanya perbaikan sistem remunerasi di lingkungan kehakiman di Indonesia. Langkah ini dipilih sebagai salah satu langkah untuk menghindari korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukum.

Perbaikan dalam sistem remunerasi di lingkungan kehakiman sebagai salah satu langkah memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia yang ditujukan untuk memberantas korupsi tidak akan berjalan tanpa pengawasan yang lebih ketat di lingkungan kehakiman itu sendiri. Penegakan hukum di lingkungan kehakiman mutlak diperlukan untuk meningkatkan penegakan hukum di bidang lain. Dalam hal ini perbaikan hukum dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi.

Penegakan hukum di segala bidang, misalnya dalam hal ini pemberantasan korupsi, memerlukan kemauan politik dan niat yang sangat kuat dari pemerintah. Jadi menurut penulis pemerintah, atau dalam hal ini pihak yang memegang kuasa dan kendali dalam suatu lingkungan pemerintah adalah pihak yang paling mungkin dan paling bisa untuk memulai langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dari para pemimpin itulah bisa disiapkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian terhadap terjadinya pelanggaran, misalnya korupsi.